Karena sudah tua, kakek Lelanggai sakit keras dan kemudian meninggal dunia. Tak lama setelah kakek Lelanggai meninggal, belum selesai masa berkabung atau dalam bahasa Iban disebut dengan “ketas ulit” yang artinya belum sampai tujuh hari ayahnya meninggal. Di suatu malam, bermimpilah anaknya yaitu Ajul bertemu dengan ayahnya.
Kata ayahnya: “Anak ku, aku akan memberi kamu jimat, pergilah untuk mengambilnya”. Anaknya bertanya: “Dimanakah kamu menyimpannya ayah?” Lalu ayahnya menjawab: “Di sana, di pohon tempat dimana sungkup atau peti mati saya diletakkan". "Baiklah ayah" kata anaknya. Beberapa saat kemudian, anaknya turun dari rumah panjang, tapi hanya sampai di kaki tangga rumah panjang, karena takut, lalu dia kembali lagi ke rumah.
Berselang beberapa waktu kemudian, saat malam tiba, dia bermimpi lagi, bertemu dengan ayahnya, lalu ayahnya bertanya: "Kapan kamu mengambil jimat itu anakku?" Jawab anaknya: "Besok saya akan ambil jimat tersebut ayah". "Baiklah, kalau begitu saya menunggu kamu di pohon sungkup ini", kata ayahnya. Sungkup atau sentubung adalah istilah dalam bahasa Iban untuk peti mati terbuat dari kayu keras seperti jenis kayu tekam yang ukurannya cukup besar, lalu dibelah dua, kemudian dibagian dalam kayu di pahat untuk menyimpan jenazah orang meninggal.
Setelah bermimpi bertemu dengan ayahnya tadi malam, pagi itu dia berangkat kembali ke tempat yang dijanjikan oleh ayahnya. Namun sampai di halaman rumah panjang, dia kembali lagi. Dalam hatinya dia bertanya: “Mengapa saya merasa takut? padahal dari rumah tadinya, saya berani, tetapi kenapa sampai di tanah saya merasa takut?”, gumam anaknya dalam hati. Padahal menurut keterangan orang di rumah panjang yang pernah mengenal Ajul, orangnya kekar dan perawaknnya besar dan tinggi, tidak sepantasnya dia takut. Setelah pulang, orang lain merasa heran dengan tingkah laku Ajul, lalu salah seorang warga rumah panjang menyapa: "Apa yang sedang kamu lakukan Ajul? Lalu Ajul menjawab: "Saya tadi diminta oleh ayah saya mengambil jimat" sambil kelihatan agak bingung dan takut bercampur baur.
Pada malam ketiganya, kemudian dia bermimpi lagi, “Lama betul saya menunggu kamu anakku, tapi kamu tidak juga datang, ambilah jimat kamu ini!”, seru ayahnya agak kesal. “Iya besok saya akan mengambilnya ayah” jawab anaknya. “Baiklah, kalau begitu saya menunggu kamu disini di pohon bekas tebangan, disitu saya duduk menunggu kamu”, lanjut ayahnya. Anaknya bertanya, “Dari mana jalan yang akan saya lalui untuk mencapai tempat itu ayah?” Ayahnya bilang; “Dari ujung batang kayu bekas tebangan sebagai titian, kamu terus melalui batang kayu itu, sesampai di pangkal bekas tebangan pohon itu, kamu akan bertemu dengan saya nanti”.