Tanggal 21 April 2008, di kaki Bukit Tekenang dalam kawasan Taman Nasional Danau Sentarum dilakukan upacara Tolak Bala yang merupakan rangkaian proses acara pertemuan tahunan . Setelah dua hari penuh be-berapa wakil masyarakat dari setiap kampung berkumpul di Desa Laut Tawang Dusun Empanang TNDS untuk melakukan Pertemuan Tahunan. Berbagai hal telah menjadi agenda pembahasan ; Adat, Nelayan, Periau, Kerajinan dan Radio Komunitas.
Secara bersama dari masing-masing etnis yang terdapat di TNDS baik Melayu, Iban, Kantuk dan Embaloh (MIKE) melakukan prosesi (ritual) menurut tradisi budaya dan caranya masing-masing. Berbagai kebutuhan ritual ; Ayam, Babi, dan perlengkapan yang diperlukan telah dipersiapkan sebelumnya. Acara tolak bala bersama tersebut telah diatur sebagai rangkaian penutup dari acara pertemuan tahunan di Empanang 19-20 April 2008.
Cuaca cukup cerah pagi hari itu, para rombongan dengan kendaraan motor bandong, speed dan tempel bergerak menuju ke arah Bukit Tekenang. Kurang lebih dua jam perjalanan dengan motor bandung menelusuri hulu sungai Tawang, seluruh peserta tiba dan mempersiapkan rangkaian prosesi (ritual) yang akan berlangsung. Setelah semua siap, semua bergerak ke salah satu sisi pantai Bukit Tekenang yang telah dipersiapkan untuk memulai ritual Tolak Bala.
Dilokasi pantai pendaratan yang masih cukup rimbun dipenuhi berbagai jenis pohon hutan dan masing-masing peserta memilih tempat yang tepat untuk memulaikan prosesi (ritual) tersebut.
Atmosfir magis-pun meraup rimba raya TNDS, suasana dialogis supra natural terasa di pagi menjelang siang hari itu, asap pedupaan-pun mulai tercium di areal tempat berlangsungkannya Tolak Bala. Suasana sakral membahana dalam back sound syair mantra dan lengkingan pekikan yang sekali-sekali terdengar dalam tempo rytme suara alam.
Masing-masing tetua adat ; Panglima, Tumengung, Patih, Punggawa, yang mengambil peran kunci dalam menga-rahkan jalannya proses Tolak Bala. Busana warna-warni dengan motif khas dari setiap etnis semakin membuat khusuk dan khitmat kebersamaan. Kabarnya acara Tolak Bala tersebut adalah yang pertama kali diadakan di Danau Sentarum dan Kapuas Hulu.
Intinya, mereka memanjatkan sebuah harapan yang sama yaitu:terciptanya suasana yang tentram, damai, nyaman dan aman, dalam kebersamaan hidup di alam raya TNDS bagi semua makhluk dengan tradisi dan cara masing-masing. Selain itu terhindar dari segala marabahaya yang dapat mengancam masyarakat di Taman Nasional Danau Sentarum dan sekitarnya baik kehidupan saat ini dan masa yang akan datang.
Pada hari itu acara berlangsung dengan lancar, sebelum pukul 3:00 sore. Ritual selesai dan peserta kembali ke daerah masing-masing dengan berbagai hal/kisah yang akan mereka sampaikan ke warga setibanya di kampung masing-masing.
Menarik..!! itu kata yang terungkap pada waktu menyimak rangkaian proses Tolak Bala di Bukit Tekenang pada tanggal 21 April kemarin. Mungkin ritual ini bisa dilihat dari berbagai perspektif, namun saat ini kita coba melihatdari segi Potensi Wisata Danau Sentarum.
Pariwisata
• TNDS yang memiliki Biodivercity dan fenomena alam serta keragaman budayanya, menjadi daya tarik yang kuat untuk kegiatan Ecotourism.
• Agenda budaya dari masing-masing etnis menjadi perekat budaya dalam keberagaman.
• Keragaman budaya dalam kebersamaan ritual yang harmonis di Bukit Tekenang dapat menjadi perekat yang kuat dalam upaya pemberdayaan segala hal yang potensial di TNDS. ( Tokoh Adat, Masyarakat, LSM, Balai TNDS dan lain-lain)
• Menjadi salah satu ikon dalam upaya mendukung program “Tahun Kunjungan Wisata di TNDS 2010”
Catatan:
Tolak Bala bersama mungkin bisa saja dijadikan semacam agenda “Festival Budaya Danau Sentarum” yang perlu dikemas dengan baik untuk pelaksanaan tahun yang akan datang. Selain tolak bala,mungkin bisa juga ada acara Selamatannya. Oleh karena itu pada saat kegiatanan seperti ini diadakanlah dapat diadakan juga berbagai berbagai kegiatan, seperti lomba sampan, pameran potensi dari masing-masing desa, pemutaran film dan lain-lain. Dengan harapan tentunya agar dapat saling menopang upaya pemanfaatan, pengelolaan, pelestarian TNDS bagi masyarakat yang ada di TNDS dan sekitarnya serta untuk kita bersama.
Setahu saya juga, di desa Leboyan setiap tahunnya diada-kan ritual tolak bala bersama warga atau selamatan kam-pung dimana acara tersebut hanya dalam ruang lingkup desa Nanga Leboyan. Hampir setiap sampan atau perahu yang ada dipergunakan dalam arak-arakan keliling desa sambil membacakan doa-doa dan mengumandangkan Azan pada beberapa tempat yang menjadi batas kampung sebagai jalur keluar dan masuk ke desa. (zul_ms)
Tujuan dari Ritual Tolak Bala
Tolak bala di Danau Sentarum merupakan rangkaian ke-giatan pertemuan tahunan masyarakat Danau Sentarum di Empanang, April 24, 2008. Meski dengan istilah dan upacara yang sedikit berbeda, kegiatan ini ditujukan untuk menenangkan penguasa tanah dengan memberi korban binatang dan beberapa hal lain. Diharapkan tanah yang dinyatakan sebagai kawasan taman nasional ini memberi berkah pada setiap orang yang tinggal dan bekerja di dalam kawasan maupun sekitarnya.
Berdasarkan percakapan bersama beberapa pemuka adat dari empat suku di Danau Sentarum; Melayu, Iban, Kantuk, Embaloh, (MIKE) tolak bala merupakan istilah yang digunakan masyarakat melayu untuk mengartikan pemberian makan kepada tanah di tempat mereka membuka lahan pertama kali. Kegiatannya berupa menyembelih seekor ayam, bagian darah di buang ke air dan kepala di buang ke tanah. Ini merupakan symbol untuk menenangkan para penguasa tanah. Ritual ini diikuti makan bersama berupa nasi atau makanan ringan. Pembacaan doa selamat menjadi pembuka dan penutup. Diharapkan Tuhan melindungi dan memberi berkah pada mereka yang bekerja di wilayah yang didoakan.
Demikian pula masyarakat Dayak, kegiatan serupa dinamakan muja. Muja dimaksudkan untuk berdamai dengan penguasa tanah, air, udara atau penguasa alam bawah yang mereka sebut petara. Bedanya binatang yang di korbankan adalah babi. Sebenarnya untuk hewan kurban bergantung seberapa besar upacara ini. Hewan kurban bisa ayam atau babi, ditambah beberapa jenis pelengkap lain seperti tuak, saguwer, ketan panggang dan variasi lain berdasarkan kepercayaan tiap suku. Kegiatan ini bisa dilakukan berulang, bedanya pada masyarakat Melayu yang masih menggunakan istilah yang sama, tolak bala, pada masyarakat Dayak dinamakan ngampun. Pengulangan bisa dilakukan sewaktu-waktu sesuai kesepakatan bersama atau jika diperlukan, misalnya terjadi kejadian-kejadian yang dianggap bagian kemarahan penguasa alam terhadap sikap maupun tingkah laku manusia. (Sesilia Nina)